Batik Lasem, Batik Tulis dengan Warna dan Motif Khas


Di kalangan pecinta batik, Batik Lasem adalah salah satu batik yang sering diburu. Terutama karena kekhasan warna dan motifnya. Namun, dalam perkembangannya, industri Batik Lasem justru mengalami masa kembang kempis. Berbagai upaya dilakukan untuk melestarikan industri batik yang memiliki sejarah panjang ini. Di Jawa, batik dibedakan menjadi  dua, batik pedalaman Lasem dan batik pesisir. Batik pedalaman, seperti Balik Solo, Batik Yogyakarta, dan Banyumas, umumnya memiliki ciri khas yang dikaitkan dengan pusat kebudayaan. Industri batik mereka dekat dengan pusat kerajaan. Sedangkan batik pesisir umumnya terpengaruh dengan budaya luar.
Sesuai dengan kondisi geografis masyarakat maritim, pesisir menjadi pintu gerbang masuknya kebudayaan asing.
Pantai Lasem yang berada di Rembang, Jawa Tengah, adalah salah satu pintu gerbang masuknya budaya asing pada masa lalu. Kala Putri Tribuana Tunggadewi dari Majapahit naik tahta, Lasem menjadi wilayah perdikan yang berdiri sendiri. Saat itu, juga berdatangan imigran dari Tiongkok dan Vietnam. Tak heran jika motif-motif Batik Lasem terpengaruh dengan motif dari budaya itu.
Sigit Witjaksono, salah satu pengusaha batik di Lasem menyebutkan, kebudayaan Tiongkok paling banyak memberi pengaruh pada Batik Lasem. Sebagai contoh,
motif yang menggunakan gambar burung hong dan pokok-pokok pohon bambu pada Batik Lasem. Berdasar kepercayaan Tionghoa, pohon bambu melambangkan kerukunan keluarga yang kuat. "Batik Lasem mempunyai dua corak khas; lawhan dan watu pecah.
Motif latohan terinspirasi dari tanaman latoh (sejenis rumput laut) yang menjadi makanan khas masyarakat Lasem. Sedangkan motif watu pecah menggambarkan kejengkelan masyarakat Lasem sewaktu pembuatan jalan Daendles yang memakan banyak korban," ujarnya.

Tak hanya itu, motif lain yang terkenal di Lasem adalah kapal pecah. Kapal pecah dipercaya sebagai cerita tentang seorang putri dari Vietnam yang kapalnya karam di sekitar Pantai Lasem. Putri itu kemudian menetap di sana, dan ikut mengajarkan teknik pembalikan yang lebih modem.

Motif lain yang juga muncul adalah tentang simbol-simbol pem-berantakan etnis Tionghoa saat Belanda berupaya menguasai perdagangan di wilayah itu. Tak heran jika motif Batik Lasem umumnya menjadi jejak sejarah wilayah itu.
Sigit menyebutkan, banyak motif yang juga menceritakan tentang pembauran masyarakat Tionghoa dan masyarakat setempat. "Kalau sekarang banyak orang ribut-ribut soal pembauran, di Lasem pembauran sudah terjadi sejak abad 14.
Dulu, imigran Tiongkok yang datang ke sini adalah laki-laki semua. Mereka menikah dengan wanita-wanita pribumi. Baru dalamfiMgelombang berikutnya, yang dalang membawa serta wanita. Jadi disini juga dikenai ada peranakan dan ada totok," ujarnya.
Banyak motif Batik Lasem yang menggunakan simbol-simbol budaya Tionghoa. Bahkan Sigit mencontohkan batik yang menggunakan aksara Kanton. "Namun yang paling khas dari Batik Lasem adalah warna merahnya. Hanya Batik Lasem yang mampu memiliki merah seperti merah darah ayam. Sejak dulu warna ini sudah terkenal," ujarnya.
Warna merah ini, menurut Sigit karena air di wilayah Lasem memiliki senyawa yang khas yang tidak dimiliki oleh wilayah lain. Seperti halnya kekhasan tanaman atau makanan di wilayah lain.
Kekhasan warna dan motif yang menjadi jejak sejarah inilah yang membuat Batik Lasem diburu oleh para kolektor batik. Hanya saja, dalam perkembangannya, industri Batik Lasem semakin lama semakin terancam. Terutama karena minimnya pembatik.
"Di tengah boomingnya batik saat ini, yang menjadi kendala adalah minimnya para pembatik. Tak heran jika banyak usaha batik saling rebutan pembaiik," ujar Sigit.
Industri batik di Lasem memang bukan industri balik pabrikan. Hampir semua balik di Lasem dikerjakan dengan cara ditulis. Pengusaha-pengusaha mengumpulkan para pembatik untuk membuat balik, lalu menjualnya ke pasaran.
Hanya saja hampir seluruh pembatik yang ada di Lasem berusia lanjut. Hanya sedikit saja yang berusia di bawah 30 tahun. Regenerasi yang lamban tak mampu memenuhi pasar ketika booming.
Winarti, salah satu pembatik di Lasem menceritakan, ia mendapatkan keahlian membalik secara turun menurun.
"Dulu, orang tua saya yang mengajari membalik. Kalau sudah selesai sekolah, habis main, saya disuruh untuk membantu ibu mcmbatik. Mulai dari memegang canting sampai membakar malam. Setelah itu saya disuruh untuk melapisi, baru kemudian diajar membual motif," ujarnya.
Sebagian besar pembaiik di Lasem memang mendapatkan keahliannya secara turun-temurun. Ketika perkembangan zaman berubah, banyak generasi muda yang kemudian lebih tertarik pada hal lain. Inilah yang menyebabkan minimnya tenaga pembatik di sana.
Ketua Koperasi Batik Tulis Lasem. Santoso Hartono, menceritakan banyak upaya dilakukan untuk melestarikan batik tulis Lasem. Mulai mencarikan modal hingga pelatihan pada generasi-generasi muda.
"Sekarang ini sudah ada kemajuan. Banyak generasi muda yang mulai melirik batik sebagai salah satu yang palut dipertimbangkan untuk masa depan. Di sekolah-sekolah diajarkan tentang membalik. Mereka tak perlu lagi pusing mencari kerja ke luar Lasem," ujarnya.
Santoso menceritakan, ketika batik sedang booming, banyak perempuan-perempuan yang beralih profesinya menjadi pembatik.
"Mereka yang pernah belajar membalik mengembangkan kemampuannya. Karena pendapatannya lumayan. Sehari mereka bisa mendapatkan Rp 100.000. Istri-istri sopir pun sekarang membalik, lumayan bual tambah penghasilan," ujar Santoso.
Tantangan yang dihadapi pembaik Lasem saal ini, menurut Santoso adalah mau masuknya pemodal besar. Pemodal besar itu akan membuat Batik Lasem secara pabrikan. Diproduksi besar-besaran yang hanya menguntungkan sebagian kecil orang saja.
"Keunggulan Batik Lasem karena semuanya dibuat handmade, batik tulis, bukan dibuat pakai mesin. Kalau dibual pabrikan, nantinya malah merusak kualitas Batik Lasem itu sendiri. Ini nantinya merugikan pembatik-pembatik yang tradisional," ujarnya.
Sayang, jika Batik Lasem yang terkenal karena kekhasan dan sejarahnya yang panjang hanya dilihai dari sisi industri yang menguntungkan saja. Hal itu malah akan menjadikan Batik Lasem tenggelam di era yang serta kapitalis ini. Depkop.go.id