Pathol Sarang, Sumo Ala Rembang




Salah satu seni budaya dan olahraga gulat tradisional di Kabupaten Rembang yaitu "Pathol Sarang". Disebut "Pathol Sarang" karena seni gulat tradisional ini berkembang awalnya dari (kaum nelayan) di Kec.Sarang. Dalam perkembangannya seni ini tidak hanya populer dimasyarakat khususnya
kaum nelayan di Kec.Sarang, namun para nelayan di sepanjang pantai utara Rembang sudah sangat mengenalnya. 
Kata Pathol sendiri berasal dari katamathol/kepathol (tak bisa bergerak). Para nelayan setempat kerap minta tolong temannya, saat perahunya kepathol tak bisa bergerak (terkunci) karena kandas. Dari istilah itu (terkunci) tadi, dalam pertarungan Pathol Sarang dua pria berhadapan. Berusaha (saling) mengunci satu sama lain (lawannya). Sampai salah satu diantaranya benar-benar terkunci dan menyerah, atau dinyatakan kalah. 
Gulat tradisional Patol Sarang, mirip "Sumo" di Jepang. Bedanya, dalam pathol orang tak bertubuh tambunpun boleh terjun di arena, melawan orang lain yang perawakannya sepadan (sesuai aturan kini). Pemain pathol harus telanjang dada. Dipinggang masing-masing dililitkan kain sarung atau tali "dadhung" tempat pegangan (grip) lawan. Tak ada matras, pertarungan dilakukan ditempat terbuka diatas hamparan pasir tepi laut. Sepanjang pertarungan, gamelan ditabuh bertalu-talu (Jw; ngungkung). Persis irama "Reog Ponorogo". Jika gamelan berhenti, berarti pertarungan usai. Puluhan tahun silam, PS tak mengenal istilah "ronde" seperti sekarang. Pertarungan baru selesai, setelah salah satu petarung pathol menyerah, atau dinyatakan kalah oleh pengawas/wasit terdiri dua orang sambil berjoged. Dulu tidak ada "kelas" dalam tarung pathol. Siapapun entah bertubuh kekar atau kerempeng, jika punya nyali berhak turun diarena pathol, menantang sang juara. Jadi jawara pathol saat itu bagaikan "Warok Ponorogo". Tenar dan disegani orang. Dimana-mana dihormati dan digandrungi banyak wanita. Tetapi tak jarang konotasinya jelek, karena dinilai lekat dengan dunia maksiat. Nelayan Rembang, menggemari seni gulat tradisional ini. Berpuluh tahun silam, PS tak hanya diadakan pada upacara ritual tahunan, "Sedekah laut", seperti sekarang. Tetapi setiap terang bulan atau ketika para nelayan sedang jeda melaut, tarung pathol digelar ramai-ramai.